Tentang kesukaan saya ini, ada cerita antara saya dan bapak.
"Nonton kok lebih suka kartun, film khayalan. Nggak realistis. Kayak anak kecil. Dipindah saja channelnya!" kata bapak.
"Dipindah ke stasiun tv mana?" tanya saya.
"Yang ada Kamandanu-nya, Tutur Tinular."
"Lha kan belum jamnya."
"Ya, dipindah ke channel yang lain saja. Yang nayangin sinetron."
Saya pun manut karena malas terjadi rebutan remote control.
Tapi saya mikir. Mikir. Mikir.
Kenapa yah bapak melarang saya nonton film kartun? Dan bapak lebih memilih sinetron Indonesia?
Saya mikir. Mikir. Mikir.
Pertama, saya cowok. Usianya hampir kepala tiga. Sudah berkeluarga dan hampir memiliki seorang anak pula. Mungkin sudah saatnya buat saya untuk lebih bertanggung jawab terhadap realitas kehidupan.
Saya mikir. Mikir. Mikir. Apa ya yang salah dengan itu?
Kedua, film kartun tidak realistis.
Atas pikiran tersebut, saya kemudian mencoba beralasan.
Pertama, sedari kecil saya lebih menyukai film kartun ketimbang melakukan hal apapun. Saya masih ingat waktu SMP ketika guru olahraga saya mewajibkan para siswanya untuk ke veldrom di hari Minggu untuk lari pagi menambah nilai mata pelajarannya, saya lebih memilih berada di rumah menonton Doraemon dan teman-temannya. Walaupun kealpaan saya harus diganjar bukan hanya hukuman tapi juga denda. Guru olahraga saya memang pintar mencari uang tambahan di luar gaji bulanannya.
Kedua, film kartun tidak realistis. Mungkin bapak saya belum memahami mengenai hal ini jadi saya bisa memaklumi. Segala jenis film, baik kartun ataupun dimainkan oleh manusia tidaklah realistis. Semuanya itu ciptaan, karya manusia. Tulisan yang sedang saya buat ini tidak realistis, karena buatan saya. Bisa saja cerita yang sampaikan ini rekaan -- hanya sekadar untuk menyampaikan gagasan atau pesan yang ingin saya sampaikan. So, sinetron pun adalah rekaan.
Mungkin yang jadi masalah adalah film kartun itu identik dengan anak-anak. Sementara sinetron identik dengan orang dewasa. Padahal, menurut saya -- bukan karena saya lebih menyukai film kartun -- pemahaman seperti itu salah kaprah.
Inti dari sebuah cerita dibuat agar penonton atau pembaca (buku), selain menikmati alur cerita yang berliku-liku, juga mendapat hikmah atau pesan. Dan saya mendapatkan hal tersebut di film kartun. Sementara di sinetron Indonesia saat ini saya juga menemukan pesan. Hanya saja pesan yang saya dapat lebih banyak tentang tiga hal: Harta, Takhta, dan Wanita.
Sedikit menyambung dengan geger yang terjadi pada buku SD di sekolah tentang Kisah Bang Maman dari Kali Pasir yang terjadi akhir-akhir ini. Ini imajinasi saya lho, mungkin [mungkin lho] para pembuat buku tersebut adalah generasi nonton sinetron kita yang lebih banyak berpesan tentang tiga hal tadi. Sehingga, ketika dewasa dan menjadi penulis buku, mereka menyuguhkan pesan-pesan tersebut yang dibungkus dalam cerita anak. Sehingga jadiny seperti itu. Cerita dewasa di buku yang dikonsumsi anak-anak.
Jujur saja, sebagai orang yang lebih menyukai film daripada sepakbola, saya pernah juga nonton sinetron. Tapi, saya membatasinya. Saya tidak akan suka menonton sinetron yang tidak memiliki alur yang jelas (ke mana-mana). Tapi, sampai sekarang dan mungkin di masa depan, saya akan tetap nonton film kartun. Lha, lebih bagus kok. Lihat saja Dora, Sponge Bob, Doraemon.
Dan satu lagi, film kartun itu juga memiliki rate usia yang berbeda-beda. Naruto dan One Piece itu jelas bukan untuk dikonsumsi anak-anak tapi remaja bisa masuk.
Kamu bagaimana? Lebih suka sinetron atau film kartun?
Nb. Tapi pemahaman yang saya maksud sinetron adalah serial televisi lho, bukan ftv.[]
Foto: Google.
Posting Komentar
Posting Komentar