Cerpen: Ayah

Posting Komentar

Tuk, tuk, tuk… terdengar pintu kamar diketuk dari luar.

Ayah menoleh ke arah suara, yaitu pintu kamar. Dia mendehem sekali sebelum akhirnya mempersilakan masuk si pengetuk kamar yang diyakininya sebagai asisten rumah tangga yang sudah mengurusnya beberapa tahun terakhir.

"Masuklah…" tukas ayah.

Si pengetuk pintu membuka pintu melalui gagang pintu, lalu menghampiri ayah yang sedang duduk di atas dipan setelah meletakkan baki berisi makanan di meja.

"Makanannya, Yah.” tukas si pengetuk pintu.

"Makasih, ya, Nen," sahut ayah.

Si pengetuk pintu mengernyitkan dahi. "Nen?" tanyanya pada diri sendiri. "Apakah ayah lupa padaku?"

Setelah meletakkan makanan di atas nakas, pengetuk pintu rupanya hendak undur diri. Dia menatap ayah dengan rasa iba, tapi kala pikirannya teringat kejadian-kejadian yang dulu rasa iba itu berubah benci. Dan itu membuatnya ingin cepat-cepat pergi dari kamar ayah.

Tapi, ketika dia ingin membuka pintu, ayah memintanya untuk tetap tinggal. Dia minta ditemani makan, yang mungkin saja ini menjadi makan siang terakhir untuknya.

"Nen, tinggallah sebentar, temani saya makan," pinta ayah.

Si pengetuk pintu yang dipanggil Nen, meski nama aslinya bukan itu, oleh ayah menuruti kemauan ayah. Dia memilih tidak memperbaiki kesalahan ayah mengenali dirinya. Lalu dia duduk  di dipan ayah yang terasa lembab dan dingin. Sementara ayah pindah ke bangku kecil di dekat meja untuk menyantap makan siangnya.

"Kau tahu, Nen. Betapa aku sangat merindukan putriku, Nazwari. Putri yang selalu menjadi tempat sampah untuk membuang semua kekesalanku," ungkap ayah mengawali pembicaraan seraya menyuap sendok demi sendok makan siangnya.

"Kenapa ayah melakukan itu – menjadikan Nazwari sebagai tempat sampah?" tanya Nen, yang ternyata bernama Nazwari.

"Entahlah, aku tak tahu. Saat aku mencari titik kesadaranku, aku merasa apa yang kulakukan adalah kesalahanku. Murni kesalahanku. Tak patut aku melampiaskan kekesalanku itu kepadanya. Oh… putriku malang," ayah terus makan dengan lahap.

Nazwari menatap ayahnya. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Memaafkan? Mungkin di bibir bisa, tapi di hati? Entahlah kapan dia bisa melakukannya.

"Andai, dia datang… saya ingin meminta maaf padanya. Maaf karena telah salah memperlakukannya dengan buruk. Yah, tapi itu hanya angan-angan saya saja. Dia tak mungkin datang bukan? Hahaha..  Ya, bagaimana mungkin dia memaafkan ayah yang buruk seperti saya ini, ya kan?"

Nazwari mendekati nakas tempat ayah menyantap makan siangnya. Dia berujar, "Yah, ayah… ayah benar-benar tidak mengenali aku?"

Ayah menatap tajam Nazwari, lalu mengernyitkan dahinya, "Ya, kenallah, kau kan Neni. Orang yang ditugaskan oleh Dipo untuk menjagaku…"

"Bukan, Yah. Ini aku, Nazwari…"

Sendok yang dipegang ayah terjatuh. Mata ayah tiba-tiba berkaca-kaca.

"Nazwari? Kau benar-benar Nazwariku?”

"Iya, yah, ini aku, Nazwari…"

Ayah ingin segera memeluk putri yang sangat dirindukannya tersebut. Kemudian dia akan mengatakan betapa dirinya rindu padanya dan betapa dirinya ingin mengatakan bahwa dirinya ingin memeluknya sebagai tanda sayang dan rindunya. Tapi dia menyadari jika Nazwari sudah terlalu dewasa untuk dipeluk seperti anak-anak.

Setelah itu, keduanya pun saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing.

***
Beberapa hari kemudian, ayah meninggal dunia. Ketika para pelayat yang mengantar ke pemakaman sudah pulang, mulai ada rasa menusuk di dada kiri Nazwari. Dan tusukan itu terasa sangat pedih, menyesakkan dada. Rasa yang hampir serupa dengan patah hati, namun terasa lebih dalam dan lebih hampa. Dia juga tidak tahu dari mana perasaan itu. Muncul begitu saja.

"Kak," kata Ikbal, adik laki-lakinya.

Nazwari tersadar dari lamunannya. Hatinya tetap masih mencelos, tapi dia berusaha terlihat biasa saja di hadapan orang termasuk adiknya.

"Ya?"

"Ayo, kita pulang…"

Nazwari mengangguk. Sebelum berdiri, dia tertegun sejenak untuk memberikan doa dan ucapan perpisahan . Sepeninggal ayah, rasa kesal dan jengkelnya mulai sirna tergantikan kasihan dan sedih.

Dari dalam lubuk hatinya, akhirnya dia berucap, "Ayah, aku terima permintaan maafmu. Maaf, aku baru bisa mengatakannya sekarang. Hatiku baru terbuka. Selamat tinggal, ayah. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya."

Air mata Nazwari kembali tertumpah…

Related Posts

Posting Komentar