Bima mondar-mandir di kamar sempit yang pengap. Duduk sebentar, lalu berdiri lagi. Tangannya meraih rokok, menyalakan, mengisap dalam-dalam. Asap mengepul, tapi rasa suntuk nggak juga hilang. Ada yang kosong di hidupnya. Bukan cinta, bukan duit—tapi internet.
Sejak semalam jaringan mati. Katanya, gara-gara demo besar-besaran, server provider dibakar massa penyusup. Hasilnya? Mati-hidup—tapi lebih sering matinya. Bima jadi gabut. Biasanya di jam segini, dia sibuk push rank atau scrolling medsos sampai lupa waktu. Sekarang? Kosong.
“Anjing, demo sialan,” rutuknya pelan.
Asap rokok mengambang di udara. Lalu, tiba-tiba, ide aneh yang telah terlupakan dari hidupnya mendadak muncul di kepala: Ah, kenapa nggak nulis aja?
Udah lama banget dia nggak buka laptop buat ngetik. Terlalu sering terdistraksi layar HP.
Memang, menulis itu skill yang wajib banget dilakukan setiap hari. Ibarat pisau, harus sering diasah dan dipakai. Jika tidak, maka pisau itu bisa tumpul dan berkarat. Tapi Bima nggak peduli. Yang penting coba dulu aja.
Dia menarik laptop tuanya keluar dari lemari. Benda berdebu keluaran 2014 itu masih menyala meski lemot parah. Bima duduk dekat jendela, biar cahaya matahari dan angin pagi bisa masuk. Dia buka Microsoft Word, berniat untuk memulai.
Layar kosong. Kursor berkedip. Dan... nggak ada satu huruf pun yang keluar dari jarinya.
Bima mengernyit. “Lho, kenapa?”
Saat itulah, sesuatu muncul dari telinga kirinya. Asap putih merembes, menggeliat, lalu membentuk sosok hitam menyeramkan. Bima terlonjak kaget.
“Siapa lo?!” serunya.
Makhluk itu nyengir. “Aku iblis di dalam dirimu.”
“Iblis?” Bima melongo.
“Ya. Selama ini aku tidur di kepalamu. Dan sekarang aku mau tanya: apa yang mau lo lakukan, hah?”
“Aku… cuma mau nulis.”
“Hahaha…” Iblis itu ngakak, terbahak. “Sejak kapan lo punya nyali? Nulis? Lo kan nggak pernah selesai. Cuma tukang wacana. Pembual. Nothing!”
Kata-kata itu nusuk. Bima terdiam. Sakit, tapi ada benarnya. Berulang kali dia mencoba menulis, tapi nggak pernah rampung. Semua cuma jadi draft setengah jadi, menumpuk, lalu dilupakan.
“Apa yang lo bilang emang ada benernya,” gumam Bima pelan. “Bertahun-tahun gue coba, tapi hasilnya selalu sama. Gagal.”
Iblis itu mendesis, tubuhnya makin membesar, membuat Bima mundur. “Akui aja! Lo cuma tukang protes. Hidup lo nggak pernah beres. Lo nggak pernah benar-benar bikin sesuatu!”
Bima tidak terima dikatai seperti itu. Dia menggertakkan gigi dan membalas pernyataan Iblis, “Nggak! Gue pernah bikin sesuatu. Kecil, emang. Nggak gede. Tapi itu tetap sesuatu. Lo yang bikin gue percaya kalau semua itu nggak ada artinya!”
Sesaat, iblis itu terdiam. Matanya menyipit.
Bima melanjutkan, suaranya gemetar tapi mantap. “Mungkin cuma remah-remah. Tapi tetap lebih baik dibanding nggak ngapa-ngapain sama sekali.”
Iblis itu nyengir tipis. “Tetap aja. Lo nggak punya kemampuan buat menyelesaikan. Semua kerjaan lo selalu menggantung.”
Kali ini Bima menarik napas panjang. Dia menatap layar laptopnya yang masih kosong. “Ya. Gue bakal nyelesaiin. Sekecil apapun itu. Gue harus kasih ending buat tulisan gue. Dan tulisan ini—akan gue akhiri sekarang.”
Iblis itu tersenyum, samar, lalu perlahan memudar.
Bima mengetik. Kata demi kata keluar, mengisi halaman yang tadinya hampa. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar menyelesaikan sesuatu. Dan, itu memberikan jalan kepadanya untuk menyelesaikan tulisan-tulisannya yang menggantung satu demi satu.

 
Posting Komentar
Posting Komentar