Cerpen: Berpisah Sebelum Bersama

Posting Komentar
Unsplash.com

Dulu banget, gue pernah deket sama cewek temen sekantor. Namanya Tisya.

Bisa dibilang, gue nggak terlalu deket banget sih. Kedekatan kami itu juga tidak bisa dibilang TTM (Teman Tapi Mesra). Hmm… apa yah? Gue agak sukar mendeskripsikannya.

Intinya: gue pernah punya teman sekantor yang berjenis kelamin cewek, dan… kami pernah menjadi dekat, tapi hanya sekelebat mata saja. Mungkin itu, deskripsi yang yah bisa dibilang tepat.

Gue sendiri nggak tahu, bagaimana semua ini berasal – awal ceritanya gue sudah tidak ingat. Yang jelas gue merasa naksir sama dia. Gue nggak terlalu naksir banget sama dia.

Gambaran kasarnya, pikiran gue selintas lalu berpikir, 'eh, gue kayaknya naksir dia deh.'

Setelah gue pikir-pikir alasan gue sempat naksir dia itu karena gue frustasi. Jadi, gue memang lagi naksir seseorang, dan yang ini beda – gue ngebet sama dia. Kemungkinan besar, rasa naksir gue ke Tisya hanyalah sebatas pelarian dari rasa frustasi itu.

Lagian gue juga nggak ngerasa sih kalau Tisya itu tipe cewek idaman gue. Nggak kayaknya. Bukan berarti jelek ya, hanya saja dia tampak biasa saja di mata gue untuk terlalu gue fokusin.

Namun, jujur saja, gue sendiri merasa penasaran waktu itu. Kenapa gue naksir dia? Apa perasaan gue mendalam ke dia? Itu yang bikin gue coba mendekat ke dia, tetapi sejauh ingatan gue, kami berinteraksi biasa saja selama di kantor.

Entah bagaimana ceritanya, gue juga merasa dia juga naksir ke gue. Rasa naksirnya pun sama kayak yang gue rasain.

Itu kenapa waktu dia mengajak gue ke Pantai Parangtritis berduaan, gue langsung oke-in.

'Puh, mo maen nggak?' tulis dia di sms. Zaman itu Whatsapp belum booming, Facebook sudah ada sih.

'Kemana?' balas gue, juga lewat sms.

'Parangtritis.'

Gue yang penasaran dan punya secuil rasa ke dia langsung mengiyakan. And then, kami pun berangkat sekitar jam empat sore. Itu hari Minggu, sehabis acara Kick Andy.

Gue jemput dia di depan rumahnya naik motor Supra X. Sepanjang jalan, gue coba ngobrol ngalor ngidul buat membangun chemistry. Lagian, bete juga kalau jalan ke Parangtritis tapi nggak sambil ngobrol. Jauh juga jarak tempuh dari rumah dia ke salah satu pantai legend di Jogja.

Setibanya di sana, hari sudah menjelang Maghrib. Sunset terlihat, tapi posisi Pantai Parangtritis yang tidak pas dengan arah sunset, jadi ya tidak terlihat terlalu bagus view-nya.

Gue sudah lupa apa yang kami bicarakan, tetapi seperti lebih diam saja. Baru kali itu gue ke Parangtritis berduaan sama cewek malem-malem. Disana kami juga makan jagung bakar doang.

Gue pikir kalau malam pantai sepi, ternyata tidak. Banyak orang disana, termasuk para pengunjung dan penjual jagung.

***

Sejak jalan ke Pantai Parangtritis itu gue akhirnya menyadari dengan pasti bahwa perasaan yang gue rasakan hanyalah perasaan sekilas saja. Dia pun juga merasa seperti itu.

Kami berpisah bahkan sebelum kami bersama.

Gue melanjutkan hidup gue. Dia melanjutkan hidup dia. Seolah-olah kami tidak pernah saling mengenal satu sama lain.

Tidak lama berselang, Tisya resign dari kantor. Dia mengejar impiannya sebagai PNS di Jakarta.

Kami memang masih saling berkontak di Facebook waktu itu. Tapi, itu hanya sebentar. Setelah itu, dia menghilang.

Beberapa bulan kemudian, ketika gue membuka Facebook lagi, gue menemukan dia sudah menikah dengan cowok entah siapa.

And then, gue masih disini, melanjutkan hidup gue mencari cinta yang belum ketemu.

Related Posts

Posting Komentar