Puncak, Masih Dingin Kok

Posting Komentar
Sabtu - Minggu kemarin akhirnya aku berkesempatan lagi ke Puncak -- tepatnya kalau nggak salah di daerah Pasar Cisarua. Ini pertama kalinya, aku berangkat bareng istri. Teman-teman facebook mengira kalau aku ke Puncak untuk honeymoon. Padahal bukan. Sungguh. Kedatangan kami ke Puncak adalah karena undangan teman-teman istriku. Jadi tentu saja di sana ramai orang-orang. Nggak bisa begitu-begituan ups.

Banyak orang berkata kalau Bogor, lebih tepatnya Puncak, tak sedingin dulu. Yah, dulu, kala aku masih menginjak bangku SMP. Waktu itu aku ke Mega Mendung bareng teman-teman kompleks di Chandra Baru, Pondok Gede. Emang siy dinginnya bukan main. Brrr... Mungkin ini disebabkan banyaknya polusi di kota itu. Bayangkan kalau hampir semua penduduk Jakarta weekend di sana? Asap kendaraan dan sesaknya orang-orang tentu bikin panas kan? Yang akhirnya berimbas pada udara di sana. Belum lagi ditambah pabrik-pabrik yang berdiri di sana. Jujur saja, ini pandangan subjektif, dari aku dan mungkin banyak orang.

Omong kosong kalau kalian bilang Puncak sudah nggak dingin. Buktinya waktu ke sana kemarin itu aku masih merasakan dingin betul. Apalagi waktu nyiram kepala pas mandi pagi-pagi, Dinginnya sampai nembus ke dalam kepala. Aku suka banget. Emang dingin. Tapi dingin yang seger.

Yang nggak kusukai dari Puncak, dan hampir seluruh jalanan Jakarta itu cuma satu: MACET. Waduh, sistem buka-tutup jalan membuat macet nggak tahu sampai berapa kilometet. Aku baru tahu sistem buka-tutup di jalan menuju Puncak baru kemarin ini. Jadi buat yang belum tahu (siapa tahu ada yang mbaca post ini dan belum pernah ke sana), sistem buka-tutup itu dalam tempo satu jam jalanan menuju ke atas Puncak ditutup, sementara jalanan menuju ke bawah Puncak dibuka. Sejam berikutnya jalanan menuju ke atas Puncak dibuka, sementara jalanan menuju ke bawah Puncak ditutup. Sistem ini diterapkan hanya pada saat weekend, hari biasa sistem ini tidak diberlakukan.

Menurutku, ide ini sebetulnya bagus sekali. Cuma mobil yang penuh sesak, membuat arus bolak-balik jadi terhambat. Bagaimana kau membayangkan, baru keluar dari gang saja, tapi macetnya minta ampun. Huh, mengerikan. Bukan apa-apa, aku hanya berimajinasi, jalanan yang miring itu apakah cukup mampu menahan berhentinya mobil? Dan apakah para sopir nggak capek ya naik-turun nginjek pedal rem -- bukan mobil, tapi motor?

Aku nggak sempat ke mana-mana. Soalnya bete banget kalau ke mana-mana tapi harus nunggu karena macet. Turun ke bawah yang nggak sampai sejam harus dua jam. Arrrh benar-benar bete. Kupikir Puncak cukuplah buat tempat wisata orang-orang Jakarta, yang sehari-harinya jenuh dengan pekerjaan, dan tak muak sama yang namanya macet.

Biar bagaimanapun, harus aku akui kalau Puncak, Masih Dingin Kok. Masih seger. Masih tetap istimewa. Dan yang lebih istimewa lagi, karena tempat ini masih bagian dari Indonesia. Indonesia kita. [LPAP]

Related Posts

Posting Komentar