Cerpen Trial

Posting Komentar
Ilustrasi asal untuk cerpen Trial

"Penulis?!" tanyamu ketika aku mengungkapkan pekerjaan impian yang kudamba-dambakan sejak dulu.

"Ahahaha…." tiba-tiba kau tertawa terbahak-bahak.

Aku mengernyitkan dahi. Bertanya-tanya pada diri sendiri, 'Adakah sesuatu ucapanku yang salah yang harus ditertawakan?'

Seolah bisa membaca isi hatiku berdasarkan reaksiku, kau tiba-tiba terdiam. Sambil menepuk-nepuk pelan pundakku, kau berkata, "Maaf… maafkan aku."

Dalam keadaan diam, dia bersungut-sungut memegang dagu.

"Ck… ma…"

"Sebentar," tanyamu, "Jangan pergi dulu. Aku nggak lagi meremehkanmu. Aku tuh…" Dia terdiam, seperti mencari kata yang tepat untuk menggambarkan maksudnya. "Aku tuh cuma heran, tapi ya sekaligus merasa lucu. Kamu ini loh… tiba-tiba muncul di depan mukaku, terus tanpa babibu langsung bilang mau resign karena mau mengejar pekerjaan impian."

Aku diam saja.

"Gini loh, kamu beneran sudah siap mengejar pekerjaan impianmu itu?"

Aku diam, tapi kepalaku mengangguk-angguk menyatakan bahwa aku sudah siap.

"Yakin?"

Aku mengangguk lagi dalam keterdiaman.

"Sebelum kamu menyerahkan surat resignmu, sebagai atasanmu, aku mau kamu memikirkan ulang rencanamu. Aku nggak bermaksud menghalangi keinginanmu. Kalau sudah bulat, ya, silakan lakukan. Kalau belum bulat, ya, kayak omonganku tadi coba dipikirkan ulang."

"Maaf, sebelumnya ya pak," kataku membuka omongan, "Saya sudah memikirkan semuanya matang-matang. Disini, saya merasa sudah mentok. Nggak bisa lebih tinggi lagi. Dulu saya mati-matian kerja buat sampai disini. Tapi sekarang plafon dari tempat ini sudah kelihatan, dan saya merasa ini waktunya buat saya untuk menapaki tempat yang lebih tinggi lagi."

"Dan tempat itu adalah dunia tulis?"

"Ya, pak," jawabku.

"Yowes gini aja. Aku kasih kamu satu trial. Tiga bulan. Aku bebaskan kamu dari tanggung jawab pekerjaan selama tiga bulan, dan kamu masih tetap dibayar, dan selama waktu itu kamu tunjukkan padaku hasil yang kamu peroleh dari pekerjaan impianmu."

Jujur, pernyataan atasanku barusan membuatku senang. Karyawan mana yang ditahan oleh bosnya sedemikian rupa? Adakah?

Berdetik-detik berikutnya aku terdiam. Memikirkan secara matang apa yang harus kuputuskan. Hingga akhirnya, aku memberanikan diri, mengambil kesempatan trial yang diberikan bosku.

"Saya terima tantangannya."

"Baik. Kapan kamu mau mulai?"

"Besok bisa pak?"

Dia terdiam.

"Hmm… baiklah! Aku akan menggantikan posisimu untuk menangani pekerjaanmu dalam tiga bulan ke depan."

"Terimakasih pak," kataku berdiri lalu menyalami atasanku.

*

"Selamat datang kembali. Silakan duduk."

Aku mengambil duduk persis di hadapan bosku.

"Oke. Sekarang bagaimana? Ceritakan pengalamanmu selama tiga bulan kemarin."

"Saya gagal."

"Ahahaha… sudah kuduga."

"Saya kesulitan mendapatkan job yang tepat untuk dikerjakan. Justru dalam tiga bulan ini, nggak ada satu pun tulisan yang bisa saya kerjakan."

"Jadi, apa yang kau inginkan sekarang?" tanyanya lantang.

"Ji-jika diperkenankan," kataku sedikit terbata-bata, "Saya ingin bekerja lagi di perusahaan ini, di tempat bapak."

"Ya, aku memang merencanakan itu tiga bulan lalu. Tapi sejak kau meninggalkan kursimu, aku telah mengambil alih pekerjaanmu. Dan aku telah coba mendelegasikannya kepada orang-orang yang dulu ada di bawahmu. Dan ternyata mereka bisa. Aku nggak biasa mengusir orang."

"Bagaimana bisa bapak melakukan itu?" tanyaku sedikit marah.

"Maaf, tadinya aku berpikir kau akan berhasil di luar sana dan meninggalkan perusahaan ini. Jika itu yang terjadi pasti akan terjadi goyang. Sedangkan aku nggak bisa berlama-lama menjaga pekerjaanmu karena aku harus mengatur ini-itu di perusahaan ini. Ingatlah, aku pemilik perusahaan ini. Masak owner juga harus bekerja? Jadi pekerjaanmu kudelegasikan ke orang lain, yaitu bawahanmu dulu."

"Bukankah bapak telah berjanji?”

"Ya, benar, tapi kayak yang sudah kubilang sebelumnya, aku pikir kamu berhasil mengejar pekerjaan impianmu dan meninggalkan perusahaan ini…"

"Stop! Stop!” aku memotong ucapannya, "Jadi maksudnya saya ditendang dari perusahaan ini?"

"Tidak, bukan begitu maksudku. Ada posisi kosong, tapi…" dia menghentikan ucapannya. Aku menunggunya. "Tapi, aku nggal yakin kalau posisi itu cocok untukmu."

"Posisi apa itu?"

"OB."

Aku mendengus - antara kesal dan menyesal. Si rubah tua ini sudah mengerjaiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum memutuskan, "Saya ambil posisi itu, pak!"

Atasanku bertepuk tangan. Aku mengernyitkan dahi, mencoba menangkap maksudnya.

"Apa maksud Anda?"

"Saya hanya memberikan tes padamu. Dan ternyata kau lulus. Selamat. Kau masih tetap di posisimu. Selamat bekerja lagi."

Aku menghela napas sambil mengelus dada. Kemudian aku bersujud syukur.[]

Related Posts

Posting Komentar