“Hey, Do!” seru Fajar, sambil menyikut pelan pinggangku dengan sikut kirinya.
Aku yang sedang melamun memikirkan hal lain segera menoleh ke arah Fajar. “Kenape?!” tanyaku meminta pertanggungjawaban Fajar karena telah mengganggu lamunanku.
“Noh, liat!” Fajar mengkode dengan kepalanya ke arah seorang siswi yang sedang berjalan ke arah kami.
"Dian?" tanyaku memastikan apa yang terlintas di pikiranku sejalan pikirannya.
Fajar mengangguk. Mengiyakan pertanyaanku.
“Duh, tu cewek, makin hari bahenol dan cantik aja,” komentar Fajar, “Beruntungnya banget cowok yang dapet doi! Pintar, cantik, ah idaman semua cowok! Sayang banget, dia masih nggak mau pacaran.”
Aku hanya menyunggingkan senyum kecil mendengar komentar Fajar. Apa yang dikatakan Fajar tidak sepenuhnya salah. Dian memang seindah itu. Semua anak cowok di sekolahku, setidaknya di kelas kami, sepakat menganggap Dian sebagai bidadari yang turun ke bumi untuk menyatukan kami.
Keindahan Dian mampu menghipnotis kami, para budak cinta. Selain itu, Dian juga dianugerahi otak yang pintar. Jadilah dia paket komplit. Cantik dan pintar. Tapi, Dian sama sekali tidak pernah menanggapi cinta yang ditujukan untuknya.
Ketika menyeberang jalan, Dian sempat melirik ke arah kami sambil melempar senyum. Fajar ghirah betul menerima senyum itu. Aku sendiri membalas senyuman itu sambil menganggukkan kepala.
Dian berdiri di atas trotoar tak jauh dari tempat kami berdiri. Tak ada percakapan. Fajar pun tak berkomentar apa-apa lagi tentang Dian. Mungkin dia tak enak hati membicarakan Dian, mungkin juga dia sedang berada di atas awan akibat senyuman Dian. Mana yang benar, aku tak tahu.
Selang beberapa lama kemudian, bus umum yang mengarah ke rumah Fajar datang. Dan Fajar pun naik ke dalamnya untuk pulang.
“Gua duluan, Do!” ucap Fajar padaku saat hendak melangkah masuk bus.
Dia juga pamit pada Dian. “Duluan, yah...”
Dian hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis. Ketika bus yang membawa tubuh Fajar pergi menjauh, aku dan Dia saling memandang dan melempar senyum. Aku menghampirinya. “Langsung pulang apa makan dulu?” tanyaku.
Dia menggamit lengan kananku, sembari berkata, “Terserah kamu aja.”
Ya, sekarang kamu tahu apa alasan Dian tidak menanggapi cinta para bromocorah itu. Sebab dia milikku! Tapi, ssst… jangan bilang siapa-siapa, ini rahasia ya!
Posting Komentar
Posting Komentar