(Chapter I - “Aku mau, Guy!”)
“Ya, tunggu sebentar!” pekik Uguy ketika mendengar pintu rumah diketuk dari luar.
Ia yang memakai kaos hitam bergambar logo grupband Burgerkill itu melangkah ke pintu depan. Begitu membukanya, Uguy terperanjat demi melihat orang yang berdiri di depan pintunya adalah Aghisna. Ia masih ingat benar sempat mengajak Aghisna menikah tempo hari.
Saking terkejutnya, emosi Uguy jadi naik. Sampai-sampai, mulut yang biasa lancar mengatakan kata-kata mendadak kaku. Ia jadi terbata-bata waktu menanyakan tujuan kedatangan Aghisna.
“I... iya... A... da... a... pa... Ghis?"
Dengan senyum manis, gadis berjilbab merah muda itu menjawab, “Aku mau, Guy!”
Uguy kembali kaget, sekaligus mengerjapkan matanya dua kali. Ia paham maksud kata-kata itu. Tapi, ia bertanya lagi untuk memastikannya. Kali ini tidak terbata-bata, sebab ia sudah berhasil mengatur emosinya.
“Maksudmu, kamu mau nikah sama aku?”
Aghisna tidak menjawab dengan kata-kata. Ia menjawabnya dengan senyuman.
“Berarti...” Uguy tidak melanjutkan kata-katanya. Ia membalas senyuman itu.
Tanpa dikomando, ia keluar dari rumah. Berlari melalui jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan jalan utama. Ia bermaksud memberitahu Bapak dan Bibi May yang saat ini tengah ada di rumah sakit. Menunggu Ibunya.
Namun, begitu kakinya menjejak jalanan, ia menghentikan langkahnya. Seolah menyadari ada yang lupa dibawanya. Apakah itu? Apalagi kalau bukan Aghisna yang masih berdiri di depan rumah Uguy.
Uguy balik ke rumah. Setelah menutup pintu, ia minta Aghisna mengikuti dirinya.
Seperti dicucuk hidungnya, Aghisna mengikuti apa yang Uguy pinta. Keduanya berlari-lari kecil di areal persawahan. Bayang-bayang kebahagiaan di wajah Ibu, Bapak, Bibi May, dan keluarga besarnya melintas di benaknya. Akhirnya, ia bisa memenuhi permintaan terakhir Ibunya.
“Ibu, perjuangan tiga hariku membuahkan hasil!” pekik Uguy sambil tetap berlari-larian kecil.
Imajinasi Uguy tentang kebahagiaan dan keindahan mendadak pudar. Aghisna yang napasnya terengah-engah berhenti berlari. “Guy, kita sebenarnya mau kemana?”
“Ketemu Ibu, Bapak, sama Bibi May!” sahut Uguy dengan nada riang.
“Mereka dimana?”
“Di rumah sakit.”
“Terus, kenapa kamu ngajak aku ke pematang sawah begini?”
Uguy menepuk jidatnya. Ia baru sadar.
“Kasih kabar lewat telpon saja.”
Uguy meraba saku celananya. Kemudian, ia nyengir ke arah Aghisna. “Aku nggak bawa HP.”
Aghisna terkekeh.
“Maklum, Ghis. Aku seneng banget. Sampe lupa daratan.”
“Ish...” Aghisna mendorong bahu Uguy, yang telah menggombalinya. Kemudian, ia mengambil HP dari dalam tas kecilnya. “Pakai punyaku.”
Uguy kembali nyengir.
“Kenapa?” tanya Aghisna sinis, “Jangan bilang kamu nggak hapal nomor telpon Bapak.”
“Emang iya nggak hapal.”
“Aduh!” giliran Aghisna yang menepuk jidatnya.
“Kita pulang ke rumahku dulu. Nelpon dari sana.”
Mereka berdua pun balik menuju rumah. Tidak seperti sebelumnya yang tampak terlalu terburu-buru, kali ini mereka berdua berjalan sambil ngobrol. Saling bercerita tentang diri masing-masing.
*
Aku nggak tau, apakah cerita fiksi berjudul “Permintaan Terakhir” ini bisa selesai atau nggak. Sudah ada konsep awal sampai akhir, tapi belum kutulis semua. Jadi, aku merencakan lanjutan di postingan
“Permintaan Terakhir” - Chapter II. Jangan lewatkan!
Posting Komentar
Posting Komentar